DENPASAR, fokusbali.com – Spekulasi tentang kapan pintu untuk wisatawan mancanegara dibuka terus menyeruak dalam beberapa bulan belakangan terutama saat pemerintah pusat dan Bali tengah gencar menggelar vaksinasi untuk masyarakat. Pernyataan Presiden Jokowi yang sempat memberikan angin segar terkait dibukanya pintu untuk wisman pada Juli 2021, mendapat respon positif dari pelaku pariwisata.
Seperti diungkapkan Ketua Indonesian Food and Beverage Executive Association (IFBEC) Bali, I Ketut Darmayasa, yang mendukung pernyataan presiden, namun dengan tetap memperhatikan beberapa hal.
“Dari kami praktisi pariwisata berpandangan, lebih cepat dibuka lebih baik. Namun ini sebaiknya juga tetap mempertimbangan kenaikan kasus Covid-19. Dengan kesadaran pemilik, pelaku, management karyawan serta tamu untuk meningkatkan protokol kesehatan maka (kesadaran) ini akan menular ke masyarakat. Jadi kalo semua area bisa zona hijau berarti potensi untuk pariwisata dibuka border internasionalnya akan lebih cepat,” ungkapnya saat ditemui di hotel Grand Istana Rama, Kuta, Selasa (6/4).
Darmayasa mengungkapkan, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Bali juga sempat berpengaruh terhadap tingkat hunian hotel yang selama pandemi ini memang sangat rendah, sehingga membuka keran wisman ke Bali akan sangat meringankan beban pengusaha.
“Sebelum PPKM okupansi masih 30 – 40 persen. Tapi sejak PPKM diterapkan terjadi penurunan menjadi 10 – 20 persen. Terus terang kasihan pengusaha sekarang harus membayar ratusan juta untuk listrik dan karyawan, padahal revenue tidak ada. Semoga dengan strategi-strategi pemerintah untuk memulihkan pariwisata Bali, dan peran akademisi dan industri pariwisata serta media, bisa mempercepat dibukanya pariwisata,” ungkap pria asal Singaraja ini.
Terkait kebijakan yang harus dijalankan jika pintu internasional dibuka, Ketut Darmayasa yang juga menjabat sebagai Director F&B di Grand Istana Rama Hotel, mengharapkan adanya aturan yang ketat terkait penerapan prokes.
“Saya lihat di beberapa restoran, bar dan hotel, ada yang sudah menerapkan no mask no service. Kalau itu betul-betul diterapkan secara komprehensif pasti akan bagus. Ini memang program kecil tapi bisa menyentuh banyak hal dan membantu lebih banyak dalam penerapan prokes,” paparnya seraya menambahkan pentingnya peran pemerintah agar tidak terjadi perang tarif hotel secara berlebihan jika pariwisata internasional dibuka.
Terkait waktu yang diperlukan untuk pemulihan dunia pariwisata, Darmayasa mengungkap peran besar pemerintah dalam sistem G2G, dari pemerintah Indonesia ke pemerintah negara lain.
“Pemulihan ini pertama tergantung dari vaksinasi, semakin banyak yang divaksin maka semakin sedikit kasus baru Covid-19. Lalu bagaimana dengan negara (market pariwisata) lain? Inilah perlunya G2G, government to government. Diseluruh dunia negara mana saja yang sudah mengijinkan warganya untuk bepergian, inilah yang harus cepat ditangkap pemerintah, sehingga bisa segera membuat kontrak kerjasama,” jelasnya.
Darmayasa memprediksi, wajah pariwisata secara global akan berbeda dengan sebelum pandemi, dimana wisatawan akan lebih selektif dalam memilih destinasi dan akan lebih memilih mengunjungi wisata alam.
“Di semester pertama setelah pariwisata dibuka, calon wisatawan akan lebih cenderung kepada tingkat keamanan, kenyamanan, kebersihan. Dan mereka akan lebih memilih natural atau eco-tourism dimana mereka bisa refreshing ke alam karena sudah jenuh berada dirumah saja. Inilah yang harus terus dikembangkan, apalagi pemerintah sudah mengembangkan desa wisata,” ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, Nyoman Prabawa selaku General Manager Seres Springs Resort and Spa Singakerta Ubud, juga mengharapkan dibukanya pintu untuk wisman dalam waktu dekat.
Nyoman Prabawa mengungkapkan, secara finansial, situasi akan sangat sulit khususnya untuk dunia perhotelan jika border internasional baru dibuka tahun 2022.
“Kami di Bali Hotel Association (BHA) sempat mengadakan polling berapa lama bisa bertahan dengan tabungan yang dimiliki sekarang. Hasilnya, rata-rata hanya cukup hanya sampai enam bulan. Jika pariwisata dibuka tahun depan, kami sudah pasti tidak bisa bertahan,” ujarnya.
Nyoman Prabawa menjelaskan, wisatawan domestik belum mampu untuk secara ekonomi “me-normalkan” Bali. Hal ini karena segmentasi wisdom sangat jomplang dan terpencar-pencar.
“Secara statistik kita tidak pernah bisa membaca apakah orang Indonesia yang masuk ke Bali itu untuk berlibur, kerja, berjualan atau sekolah, itu tidak terdeteksi. Kalaupun semua acara pemerintah harus dilakukan di Bali mungkin akan cukup, tapi itu tentu akan menjadi sedikit tidak adil untuk daerah lain,” paparnya.
Prabawa mengharapkan pemerintah pusat memperlakukan Bali secara berbeda dengan provinsi lain karena kontraksi ekonomi Bali yang paling parah yakni minus hampir 10 persen, sementara daerah lain hanya minus 4 – 6 persen.
“Atas dasar itulah kami meminta pemerintah untuk memperhatikan Bali secara spesial. Misalnya harus ada pinjaman lunak, lalu dana hibah pariwisata tahap kedua, dan Bali didahulukan untuk vaksinasi untuk mencapai 70 persen herd immunity (kekebalan kelompok), lalu buka airport mulai tahun ini walaupun dengan konsep Free Covid Corridor,” harapnya.
Penerapan prokes, lanjutnya, akan menjadi gaya hidup baru dan akan menjadi kunci kebangkitan parwisata Bali.
“Virus ini akan tetap ada selamanya. Jadi protokol kesehatan akan menjadi gaya hidup yang baru. Produk face shield, masker dan produk lain akan mengakomodir sesuai jamannya. Jadi kesehatan dan kebersihan akan menjadi nomer satu. Dan kalau kita mau Bali menjadi corong pariwisata dunia, maka semua stakeholder harus displin sampai ke tingkat banjar dan menggerakan semua komponen sampai ke pecalang untuk terlibat dalam menegakan protokol kesehatan,” pungkasnya.